IBARAT ayam bertelur di lumbung mati kelaparan. Ini bukan sekadar peribahasa atau pepatah petitih. Tetapi sebuah ironi kehidupan bangsa kita yang hidup di alam tropis, bertanah subur ditopang dua musim penuh rahmat silih berganti: musim hujan dan musim kemarau. Namun, kita masih mengimpor beras, gula, kadelai, jagung, buah-buahan, daging, dan sayuran. Padahal, bahan makanan tersebut sesungguhnya bisa kita produksi sendiri, kita bisa swasembada.
Dalam konteks kemandirian
pangan, kita mengapresiasi pemerintahan Jokowi-JK saat ini yang telah
mengagendakan eskalasi pembangunan pertanian untuk mencapai swasembada
komoditas pangan tersebut di atas. Khusus untuk swasembada gula
nasional, Provinsi Sulawesi Tenggara dipastikan bisa memberikan
kontribusi secara optimal. Dengan syarat para kepala daerah, termasuk
gubernur, harus turun lapangan menyiapkan kondisi dan tindakan solusi
super cepat terhadap setiap kendala, untuk memuluskan kegiatan investasi
perkebunan tebu dan industri gula
.
Harus diakui, Pemerintah
Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) di era H Nur Alam SE MSi tak
henti-hentinya menawarkan sejumlah kawasan lahan pertanian kepada
investor untuk pembangunan industri gula. Bahkan, sebagian kawasan Taman
Nasional Rawa Aopa Watumohae telah diminta oleh Gubernur Sultra dua
periode (2008-2013 dan 2013-2018) itu melalui DPR-RI, agar dikeluarkan
dari kawasan konservasi dan selanjutnya dijadikan lahan perkebunan tebu
dalam rangka pembangunan pabrik gula.
Akan tetapi, komitmen gubernur
tersebut yang kemudian sangat sejalan dengan program pemerintahan
Jokowi-JK akan diuji pembuktian operasionalnya. Sebuah perusahaan
swasta, PT Wahana Surya Agung berkantor pusat di Jakarta, telah
merespons kebijakan daerah dan pusat tersebut. Seperti dijelaskan Kepala
Dinas Perkebunan dan Hortikultura Provinsi Sultra, Ir Bambang MM,
perusahaan itu kini menyiapkan modal sekitar Rp 2 trilyun untuk
pembangunan perkebunan tebu dan pabrik gula di tiga kabupaten: Muna,
Kolaka, dan Buton Utara. Masing-masing pabrik direncanakan berkapasitas
6.000 ton gula. “Pada saat ini PT WSA sedang menyiapkan sejumlah kebun
bibit”, ujar Bambang, Sabtu 14 Februari 2015, dalam perjalanan dengan
kapal cepat dari Raha menuju Kendari. Raha adalah ibu kota Kabupaten
Muna.
Tanpa Baliho lagi
MENURUT
Bambang, PT WSA telah menjajal kemampuannya membangun industri gula di
Gorontalo berkapasitas 6.000 ton. Pabrik itu kini telah beroperasi.
Artinya, PT WSA telah memiliki referensi di bidang industri ini.
Sehingga keseriusannya melebarkan usahanya di Sultra tak perlu
diragukan. Dalam kaitan itu, para bupati yang ketempatan lokasi
perkebunan tebu dan pabrik gula sangat ditunggu perannya untuk mengatasi
masalah, misalnya persoalan lahan, dan lain-lain. Kementerian Kehutanan
dan Kementerian Agraria harus bersinergi untuk menciptakan prestasi di
sini (program swasembada gula nasional).
Proyek perkebunan tebu dan
pabrik gula di Sulawesi Tenggara dilaksanakan dengan pola plasma yang
melibatkan petani sekitar, dan pola perkebunan inti. Setiap pabrik
membutuhkan lahan perkebunan inti 7.500 hingga 10.000 hektar. Kebun
plasma tidak dibatasi, terserah kemampuan petani mengelola lahannya yang
selama ini tak produktif. Menurut Bambang, pihak investor telah
mendapatkan sebagian dari kebutuhan tersebut. Sebagian lagi masih dalam
tahap proses karena terkait pelepasan status lahan kehutanan menjadi
areal peruntukkan lain (APL).
Rahmat bagi rakyat
KABUPATEN
Muna, termasuk daerah otonom baru Kabupaten Muna Barat, perlu diberi
catatan khusus terkait kehadiran usaha perkebunan dan pabrik gula.
Kondisi perekonomian rakyat di daerah tersebut pada dewasa ini sangat
memprihatinkan. Hutan jati alam sudah lenyap dirambah oleh semua pihak
termasuk oknum pejabat setempat. Hutan kayu mewah tersebut sebelumnya
menjadi sumber persekonomian daerah dan masyarakat Muna. Usaha pertanian
sebagai sumber mata pencaharian pokok tidak maju-maju. Usaha pertanian
monokultur jagung tak kunjung dikembangkan menuju usaha pertanian modern
yang menggunakan teknologi dalam rangka peningkatan produksi dan
produksivitas. Petani masih terbelenggu pola tradisonal dengan menanam
benih lokal yang produktivitasnya rata-rata di bawah satu ton per
hektar. Kondisi infrastruktur seperti jalan dan jembatan juga masih
jelek sehingga investor yang setengah-setengah, makin ciut hatinya
untuk berinvestasi di negeri yang pernah dikenal sebagai penghasil kayu
jati alam terbesar di Indonesia, itu.
Maka, kehadiran usaha perkebunan
tebu dan pabrik gula di Muna merupakan rahmat bagi rakyat setempat.
Kegiatan investasi itu akan menciptakan loncatan besar dalam proses
pertumbuhan sosial dan ekonomi masyarakat dan daerah setempat.
Syaratnya, petani secara disiplin dan tekun harus ikut menanam tebu
sebagai plasma, harus mau bekerja dan terlibat dalam kegiatan proyek
perkebunan inti dan pabrik gula. Pekerjaan baru ini hendaknya dilakukan
sedemikian rupa agar tidak menghentikan usaha perkebunan jagung sebagai
sumber ketahanan pangan.
Usaha perkebunan tebu telah
terbukti mampu meningkatkan perekonomian rakyat di Jawa. Setiap hektar
tanaman tebu di sana saat ini bisa menghasilkan sekitar 5.000 ton tebu.
Setiap ton dibeli pabrik gula sekitar Rp 400.000. Dengan usia panen
sembilan bulan berarti, pendapatan petani mencapai sekitar Rp 20 juta
selama waktu kurang lebih satu tahun. Jadi, memang terjadi sebuah
loncatan besar jika dibanding pendapatan dari jagung lokal di bawah satu
ton per hektar. Produksi ini juga sebagian besar harus dikonsumsi
untuk mempertahankan kelangsungan hidup.