Loading...
Thursday, March 19, 2015

Kontribusi Sulawesi Tenggara Bagi Swasembada Gula

Oleh: Yamin Indas
IBARAT ayam bertelur di lumbung mati kelaparan. Ini bukan sekadar peribahasa atau pepatah petitih. Tetapi sebuah ironi kehidupan bangsa kita yang hidup di alam tropis, bertanah subur ditopang dua musim penuh rahmat silih berganti:  musim hujan dan musim kemarau. Namun, kita masih mengimpor beras, gula, kadelai, jagung, buah-buahan, daging, dan sayuran. Padahal, bahan makanan tersebut sesungguhnya bisa kita produksi sendiri, kita bisa swasembada.

        Dalam konteks kemandirian pangan, kita mengapresiasi pemerintahan Jokowi-JK saat ini yang telah mengagendakan eskalasi pembangunan pertanian untuk mencapai swasembada komoditas pangan tersebut di atas.  Khusus untuk swasembada gula nasional,  Provinsi Sulawesi Tenggara dipastikan bisa memberikan kontribusi secara optimal. Dengan syarat para kepala daerah, termasuk gubernur, harus turun lapangan menyiapkan kondisi dan tindakan solusi super cepat terhadap setiap kendala, untuk memuluskan kegiatan investasi perkebunan tebu dan industri gula
.
        Harus diakui, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) di era H Nur Alam SE MSi tak henti-hentinya menawarkan sejumlah kawasan lahan pertanian kepada investor untuk pembangunan industri gula. Bahkan, sebagian kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohae telah diminta oleh Gubernur Sultra dua periode (2008-2013 dan 2013-2018) itu melalui DPR-RI, agar dikeluarkan dari kawasan konservasi dan selanjutnya dijadikan lahan perkebunan tebu dalam rangka pembangunan pabrik gula.

        Akan tetapi, komitmen gubernur tersebut yang kemudian sangat sejalan dengan program pemerintahan Jokowi-JK  akan diuji pembuktian operasionalnya. Sebuah perusahaan swasta, PT Wahana Surya Agung berkantor pusat di Jakarta, telah merespons kebijakan daerah dan pusat tersebut. Seperti dijelaskan Kepala Dinas Perkebunan dan Hortikultura Provinsi Sultra, Ir Bambang MM, perusahaan itu kini menyiapkan modal sekitar Rp 2 trilyun untuk pembangunan perkebunan tebu dan pabrik gula di tiga kabupaten: Muna, Kolaka, dan Buton Utara. Masing-masing pabrik direncanakan berkapasitas 6.000 ton gula. “Pada saat ini PT WSA sedang menyiapkan sejumlah kebun bibit”, ujar Bambang, Sabtu 14 Februari 2015, dalam perjalanan dengan kapal cepat dari Raha menuju Kendari. Raha adalah ibu kota Kabupaten Muna.

Kepala Dinas Perkebunan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tenggara Ir Bambang MM (kemeja putih) memberi arahan kepada para Ketua Lembaga Ekonomi Masyarakat (LEM) Sejahtera se-Kabupaten Muna tarkait rencana pembangunan perkebunan tebu dan pabrik gula di daerah itu. LEM Sejahtera adalah organisasi kelembagaan petani di provinsi itu. Melalui LEM Sejahtera, para anggotanya di desa diberi penguatan untuk mandiri. Pengurusnya dikenal berintegritas, jujur, dan memiliki kemampuan manajerial. Foto Yamin Indas

Tanpa Baliho lagi

        MENURUT Bambang, PT WSA telah menjajal kemampuannya membangun industri gula di Gorontalo berkapasitas 6.000 ton. Pabrik itu kini telah beroperasi. Artinya, PT WSA telah memiliki referensi di bidang industri ini. Sehingga keseriusannya melebarkan usahanya di Sultra tak perlu diragukan. Dalam kaitan itu, para bupati yang ketempatan lokasi perkebunan tebu dan pabrik gula sangat ditunggu perannya untuk mengatasi masalah, misalnya persoalan lahan, dan lain-lain. Kementerian Kehutanan dan Kementerian Agraria harus bersinergi untuk menciptakan prestasi di sini (program swasembada gula nasional).

        Proyek perkebunan tebu dan pabrik gula di Sulawesi Tenggara dilaksanakan dengan pola plasma yang melibatkan petani sekitar, dan pola perkebunan inti. Setiap pabrik membutuhkan lahan perkebunan inti 7.500 hingga 10.000 hektar. Kebun plasma tidak dibatasi, terserah kemampuan petani mengelola lahannya yang selama ini tak produktif. Menurut Bambang, pihak investor telah mendapatkan sebagian dari kebutuhan tersebut. Sebagian lagi masih dalam tahap proses karena  terkait pelepasan status lahan kehutanan menjadi areal peruntukkan lain (APL).

Rahmat bagi rakyat

          KABUPATEN Muna, termasuk daerah otonom baru Kabupaten Muna Barat, perlu diberi catatan khusus terkait kehadiran usaha perkebunan dan pabrik gula. Kondisi perekonomian rakyat di daerah tersebut pada dewasa ini sangat memprihatinkan. Hutan jati alam sudah lenyap dirambah oleh semua pihak termasuk oknum pejabat setempat. Hutan kayu mewah tersebut sebelumnya menjadi sumber persekonomian daerah dan masyarakat Muna. Usaha pertanian sebagai sumber mata pencaharian pokok tidak maju-maju. Usaha pertanian monokultur jagung tak kunjung dikembangkan menuju usaha pertanian modern yang menggunakan teknologi dalam rangka peningkatan produksi dan produksivitas. Petani masih terbelenggu pola tradisonal dengan menanam benih lokal yang produktivitasnya rata-rata di bawah satu ton per hektar. Kondisi infrastruktur seperti jalan dan jembatan juga masih jelek sehingga investor yang setengah-setengah,  makin ciut hatinya untuk berinvestasi di negeri yang pernah dikenal sebagai penghasil kayu jati alam terbesar di Indonesia, itu.

        Maka, kehadiran usaha perkebunan tebu dan pabrik gula di Muna merupakan rahmat bagi rakyat setempat. Kegiatan investasi itu akan menciptakan loncatan besar dalam proses pertumbuhan sosial dan ekonomi masyarakat dan daerah setempat. Syaratnya, petani secara disiplin dan tekun harus ikut menanam tebu sebagai plasma, harus mau bekerja dan terlibat dalam kegiatan proyek perkebunan inti dan pabrik gula. Pekerjaan baru ini hendaknya dilakukan sedemikian rupa agar tidak menghentikan usaha perkebunan jagung sebagai sumber ketahanan pangan.

        Usaha perkebunan tebu telah terbukti mampu meningkatkan perekonomian rakyat di Jawa. Setiap hektar tanaman tebu di sana saat ini bisa menghasilkan sekitar 5.000 ton tebu. Setiap ton dibeli pabrik gula sekitar Rp 400.000. Dengan usia panen sembilan bulan berarti, pendapatan petani mencapai sekitar Rp 20 juta selama waktu kurang lebih satu tahun. Jadi, memang terjadi sebuah loncatan besar jika dibanding pendapatan dari jagung lokal di bawah satu ton per hektar. Produksi ini juga  sebagian besar harus dikonsumsi untuk mempertahankan kelangsungan hidup.

        Program swasembada gula nasional dengan demikian mewujudkan janji-janji politik pemerintahan Jokowi-JK ketika kampanye, merealisasikan harapan Gubernur Sultra Nur Alam, dan yang jauh lebih penting adalah meningkatkan penghasilan rakyat yang selama ini masih terbelenggu pola pertanian tradisional. Dan tak kurang pentingnya adalah membebaskan kita dari kesan bangsa yang masih pandir, sebagaimana makna peribahasa yang dikutip saat membuka tulisan ini.


 
TOP